ARTICLE AD BOX
Setelah menari dan menembang, Punta memanggil adiknya, Wijil. “Tut… Tut… Tut… suba tengai konden bangun cai? (Tut…Tut… Tut…, sudah siang, belum bangun kamu?”).
Tut itu panggilan pendek dan akrab buat Ketut. Si Punta bisa jadi Gede atau Wayan. Orang-orang menganggap Ketut itu si bungsu. Penari yang memerankan Wijil pun biasanya tirus, acap kerempeng, tongkrongannya kecil, karena itu ia gampang bergerak lincah di kalangan. Berbeda dengan Punta atau Penasar yang sosoknya besar, suaranya ngebas, keras, acap menggelegar. Kalau Ketut Wijil suaranya jangih (nyaring), tapi merdu, halus, lembut.
Tak jelas mengapa dipilih nama Ketut, anak keempat, kok tidak Nyoman (anak ketiga). Mungkin karena panggilan Nyoman lebih mengesankan sosok yang romantis, manis, manja, kenes, dan cocok untuk dirayu-rayu. Dalam banyak lagu atau tembang, dan dialog, sering tampil adegan seorang lanang merayu gadis. Nah, rayuan itu buat si Nyoman. Biasanya ada ucapan disertai nyanyian, misalnya, “Adi, adi Nyoman, ingetang Nyoman mejanji tresna ajak Bli. (adinda, adinda Nyoman, ingatlah, dinda berjanji setia sama Kakak).”
Yang dicumbu rayu biasanya Nyoman, tidak Made, Putu, Nengah apalagi Ketut. Mungkin zaman dulu yang bernama Nyoman itu jegeg-jegeg. Yang Ketut polos-polos dan si Wayan atau si Gede gagah-gagah berbadan besar, sering berangasan.
Untuk urusan make up dan tata busana, Wijil pun sederhana: mengenakan kaos oblong putih, rias wajah secukupnya, kumis tipis, degan bulatan pupur pekat sebesar uang logam seribu perak, di pelipis kiri kanan, dan pas tengah jidat. Dengan rias seperti itulah Wijil mengocok perut penonton. Zaman dulu, tahun 1960–1980-an, banyak orang menonton arja kangen menikmati kejenakaan Ketut Wijil. Yang terkenal adalah Monjong, tokoh Wijil dari seka arja Keramas, Blahbatuh, Gianyar.
Penonton kagum dan tergelak-gelak jika Monjong menari mengitari kalangan dan menembang. Di destarnya ia tusukkan sebatang rokok di ujung lidi yang terayun-ayun jika ia menari sambil jongkok, seperti tarian kebyar duduk yang legendaris itu. Sungguh, penonton pun riuh. Cerita utama dalam pertunjukan bukan lagi hal penting. Yang paling penting menonton Monjong memerankan Ketut Wijil. Dalam arja, kehadiran Monjong selalu dirindukan. Ia ngangenin.
Tokoh Ketut dan Nyoman yang kelak menjadi masa lalu, hanya akrab ditemui dalam seni pertunjukan sekitar tahun 1980-an, kini sering menjadi perbincangan. Awalnya cuma sebatas guyonan dan obrolan, kemudian menjadi pembahasan serius demografi. Wartawan Raka Santeri yang mengawali membahasnya sungguh-sungguh dalam laporannya di Harian Kompas awal 1990-an. Ia mewawancarai sejumlah pejabat dan penggerak keluarga kecil dua anak cukup, yang menyoroti suatu saat Nyoman dan Ketut bisa punah..
Bali kala itu bangga sekali dengan keberhasilan proyek keluarga berencana (KB) Banjar yang menjadi contoh di Tanah Air. Gerakan anak muda Zero Population Growth (ZPG) yang mencanangkan pertumbuhan penduduk nol – tentang catur warga dengan dua anak cukup, laki perempuan sama saja – dikomandoi Widminarko, gencar digerakkan di Bali.
Begitu Orde Baru runtuh, orang-orang mulai menelisik diri, bahwa kependudukan tidak semata masalah kelahiran, juga soal mobilitas orang. Krama Bali mulai memperbincangkan tentang kelahiran yang rendah, tidak serta merta berarti penduduk stagnan, malah meningkat karena kehadiran banyak para pendatang.
Demografi terikat ketat pada persoalan ekonomi, yang bagi Bali kemudian berdampak pada sosiologi dan budaya. Keluarga baru, tidak lagi terbius oleh ajakan dua anak cukup. Mereka mulai mengidamkan tiga anak, kendati melakoninya dengan ragu-ragu, antara lain karena anak pertama dan kedua berjenis kelamin sama. Mereka ingin menambah anak dengan jenis kelamin beda.
Belakangan masalah catur warga bergema lagi di Bali, dipersoalkan, agar Nyoman dan Ketut tidak lenyap ditelan zaman. Pemprov Bali berencana memberi insentif, agar keluarga-keluarga Bali tergerak bergairah punya empat anak. Tentu besar tantangannya menilik banyak keluarga muda merupakan keluarga inti yang mandiri. Karena ibu dan ayah sibuk bekerja, nenek dan kakek harus sudi ngempu cucu.
Kadang para lansia mengeluh keseringan ngemong cucu, merasa ‘mategul tanpa tali’ (diikat tanpa tali), tak bisa jalan-jalan atau plesir. Mereka bergumam, mengapa setelah sepuh masih sibuk ngurus keturunan. Membayar pembantu dan pengasuh, pendapatan tidak mencukupi.
Di zaman banyak hal harus diurus dengan uang, nasib kehadiran Nyoman dan Ketut menghadapi tantangan berat. 7